Senin, 09 Maret 2015

SEJARAH PERANG TONDANO, PATTIMURA ANGKAT SENJATA, PERANG PADRI, DAN PERANG DI PONEGORO


 1.PERANG TONDANO          Dalam sejarah, perlawanan orang Minahasa itu lebih terkenal dengan nama "Perang Tondano" yang dipimpin oleh Sarapung dan Korengkeng, serta Matulandi, Tewu, Lumngkewas, Sepang, Kepel termasuk Lontoh dari Tombulu dan Mamahit dari Remboken. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh tersebut orang Minahasa membangkitkan perlawanan menentang ketidakadilan kolonial. Sumber sengketa waktu itu muncul ketika Belanda membutuhkan bantuan tenaga pemuda-pernuda Minahasa untuk dikirim melawan Inggris yang sudah mengancam pulau Jawa. Orang Minahasa berpendapat bahwa para pemuda itu lebih dibutuhkan untuk mempertahankan Minahasa dari pada dikirim ke tempat lain. Belanda memaksa sambil memberikan iming-iming dan hadiah kepada para pemimpin Minahasa yang mau membantu mereka.Ternyata permintaan tenaga bantuan pemuda dan iming-iming hadiah ditolak oleh seluruh rakyat Minahasa dalam pertemuan/musyawarah Minahasa di Tondano. Belanda menuduh tokoh-tokoh Tondano menggagalkan politik mereka sehingga menyampaikan ancaman akan menyerang Tondano dengan kekuatan militer. Ancaman tersebut disambut dengan persiapan perang di pusat perlawanan Tondano. Itulah sebabnya peperangan itu terkenal dengan sebutan "Perang Tondano".Pasukan militer Belanda yang lebih kuat persenjataannya beberapa kali datang menyerang namun benteng pertahanan Tondano ternyata kuat sekali, bahkan Residen Belanda bernama Prediger dilaporkan tertembak dan meninggal dunia. la diganti oleh Residen Balfour yang mendatangkan bala bantuan lebih besar dengan persenjataan lebih lengkap.Awal Agustus 1809 pertahanan utama orang Tondano berhasil dikepung dari arah daratan maupun dari arah danau. Pusat kekuatan Tondano di tempat yang kemudian dinamakan Minawanua menjadi ajang pertempuran sengit beberapa hari lamanya.                                                                                    
            Pada siang tanggal 4 Agustus 1809 pertahanan itu bobol dan pertempuran belangsung dari rumah ke rumah. Dini hari tanggal 5 Agustus 1809 pertahanan dan perkampungan Tondano dibumihanguskan musuh.Semua penghuninya mulai dari anggota pasukan perlawanan Tondano hingga orang-orang tua perempuan dan anak-anak tidak ada yang tersisa. Semuanya tewas terbunuh. Sampai waktu itu, belum pernah ada perlawanan yang seluruh warganya dimusnakan musuh, seperti halnya yang terjadi dalam Perang Tondano.            Sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah dibantu oleh para ahli sejarah berusaha menulis sejarah Indonesia, namun ternyata patriotisme dan heroisme yang muncul dalam Perang Tondano tidak pernah menghiasi buku-buku sejarah nasional. Itulah sebabnya kisah heroik Perang Tondano perlu diangkat untuk turut memperkuat nasionalisme Indonesia demi meningkatkan dan melestarikan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sebagaimana kita ketahui bahwa proses perjuangan bangsa menuju terciptanya Indonesia merdeka, adalah memakan waktu panjang yang telah diawali dengan pergerakan perlawanan bersenjata oleh rakyat di hampir seluruh pelosok tanah air termasuk di Daerah Sulawesi Utara dikenal dengan peristiwa bersejarah yaitu Epos Perang Tondano di Minahasa yang puncaknya terjadi pada akhir perang Tondano tahun 1809 di wilayah Minawanua di sebuah lokasi di tepi Danau Tondano yang diberi nama Benteng Moraya. Karena di tempat itu telah terjadi pertempuran habis-habisan yang memakan korban sangat banyak sampai tidak ada yang tersisa.Sudah banyak pahlawanan pejuang kemerdekaan kita dicatat dan diakui sebagai Pahlawan Nasional, namun masih lebih banyak lagi yang belum diperkenalkan dengan kadar kepahlawanannya yang tidak kalah bobotnya sebagai pahlawan yang memelopori dan merintis perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Kisah perang Tondano yang berakhir pada awal abad ke XIX di saat berkuasanya VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Daindels, telah mengundang perhatian yang cukup besar karena perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara terhadap penjajahan Belanda tidaklah tanggung-tanggung.Mereka berperang sampa tetes darah penghabisan di Benteng Moraya bersama para pemimpinnya terdiri dari Lonto, Tewu, Matulandl, Mamahit, Korengkeng. Lumingkewas, Sarapung, Sepang, Kepel serta lain-lainnya yang kisahnya tidak kalah dengan pahlawan nasional seperti Pattimura, Hasssanudin, Diponegoro dan Imam Bonjol.                                
Pada tanggal 5 Agustus 1809, waktu sang surya menampakan cahayanya di ufuk timur, yang disinari bukan lagi Minawanua di hari kemarin, tetapi tinggal puing-puing berserakan, ditaburi mayat-mayat, bau amis darah dan tumpukan bara api. Tak ada lagi anak negeri yang bangun bersama sang surya berjaga-jaga di Benteng Moraya dan Benteng Paapal. Semuanya telah musnah bersama Wanua tercinta. Inilah akhir dari suatu perjuangan panjang rakyat Minahasa dalam mempertahankan eksistensi martabat kebangsaannya. Hanya dengan satu kalimat dinyatakan oleh Dr. E.C. Molsborgen, yang menggambarkan semangat dan jiwa perjuangan Minawanua: "de dappere tegenstand tegen een overmacht had de Tondaneers niet gebaar" "perlawanan orang tondano adalah perlawanan yang paling berani"Ada lima penulis lokal (Minahasa) yang mengekspresikan rasa kepeduliannya terhadap kisah heroik sejarah perang Tondano, yang dideskripsikan dalam buku. Mereka adalah: 1) Giroth Wuntu 1962, 2) Frans Watuseke 1968, 3) Eddy Mambu 1985, 4) skripsi dari Sam A. H Umboh 1985, 5) Bert Supit 1991. Sebagai tulisan/buku yang bernilai sejarah perjuangan, dapat dikatakan bahwa secara umum ke-lima penulis tersebut memiliki pandangan yang sama tentang kisah heroik perjuangan orang Minahasa melawan Kolonial Belanda. Bagi mereka, Perang Tondano masih tetap merupakan suatu riwayat peperangan yang gagah berani, paling lama (1661-1809), dan utama, melebihi dari kaidah-kaidah heroik lainnya yang pernah dialami oleh orang Minahasa, seperti perang dengan Bolaang Mongondouw, pertempuran dengan perompak Mangindanouw, atau perang antara Minahasa-Spanyol.Namun demikian, suatu hal yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat Minahasa atas kisah heroik Perang Tondano tersebut, adalah berkenaan dengan isu sejarah nasional dimana jasa para pahlawan Perang Tondano sebagai kusuma bangsa belum dilegitimasi dalam arsip nasional sebagaimana yang diberlakukan kepada Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol.Dengan kata lain, belum diakui sebagai Pahlawan Nasional. Padahal, sejarah mencatat bahwa dalam mempertahankan harkat dan martabat sebagai Tou-Minahasa maupun sebagai anak bangsa dalam melawan perlakuan kesewenang-wenangan kompeni Belanda bukanlah suatu kenyataan sejarah yang 'biasa-biasa saja'. Akan tetapi, sebuah Epos (kisah heroik) Perang Tondano, yang mesti diterahkan dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. untuk menaklukan tondano, tidak tanggung2,belanda menarik pasukan dari daerah2 lain seperti jawa, ambon, ternate dan bugis hanya untuk menaklukan benteng alam tondano.dalam sebuah peperangan tidak bisa di pungkiri akan adanya intrik2/siasat2 licik, begitu juga dalam pertempuran ini,setelah hampir setahun benteng moraya di kepung,bahan makanan dan logistik pun habis,dan tinggal mengandalkan tanaman2 yg ada di sekitar benteng untuk makanan,Tanggal 2 Juni 1809, Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala walak Minahasa lainnya. karena awal mula konflik adalah dengan walak(klan) tondano,walak2 lain nya di ijinkan tuntuk pulang, Dan yang tertinggal selain walak Tondano adalah dari Tomohon dan Kalabat.unggul jumlah pasukan dan senjata membuat serangan belanda tidak dapat di bendung, akhirnya benteng yang hanya di buat dari bambu,parit,di tambah hantu2 palsu yang ter buat dari pohon sagu dan di munculkan di saat malam pun berakhir di taklukan belanda setelah selama 11 bulan 4 hari peperangan.12.    PATTIMURA ANGKAT SENJATA
 Pattimura (1817) Belanda melakukan monopoli perdagangan dan memaksa rakyat Maluku menjual hasil rempah-rempah hanya kepada Belanda, menentukan harga rempah-rempah secara semena-mena, melakukan pelayaran hongi, dan menebangi tanaman rempahrempah milik rakyat. Rakyat Maluku berontak atas perlakuan Belanda. Dipimpin oleh Thomas Matulessi yang nantinya terkenal dengan nama Kapten Pattimura, rakyat Maluku melakukan pada tahun 1817. Pattimura seorang pejuang wanita Christina Martha Tiahahu. Perang melawan Belanda meluas ke berbagai daerah di Maluku, dibantu oleh Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha, Paulus Tiahahu, dan seperti Ambon, Seram, Hitu, dan lain-lain. Belanda mengirim pasukan besarbesaran. Pasukan Pattimura terdesak dan bertahan di dalam benteng. Akhirnya, Pattimura dan kawan-kawannya tertawan. Pada tanggal 16 Desember 1817,Pattimura dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.Setelah itu Pattimura melanjutkan peperangan di saparua Perlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817. Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan Pattimura untuk melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi. Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu-satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut             Latukewano atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang. Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai. Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua. Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma apulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini berakhir di sini.
3.    PERANG PADRIPerang padri terjadi di tanah minabgkabau,sumatera Barat pada tahun 1821-1837.Perang ini di gerakkan oleh para pembaru islam yang sedang konflik dengan kaum adat.Perang padre sebenarnya merupakan perlawanan kaum padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat.Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum padre dengan kaum adat.Adanya pertentangan padre dengan kaum adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan belanda. Perlu di pahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama islam,tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai ajaran Islam.Sejak akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampong kota tua di daratan agam.Karena berasal dari kampong kota tua,maka ulama itu terkenal dengan nama Tuanku kota Tua.Tuanku kota tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik aganma islam.DEngan melihat realitas kebiasaan masyarakat,Tuanku kota tua menyatakan bahwa masyarakat minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran islam.Ia menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan al-qur’an dan sunah nabi.Kemudian pada tahun 1803 datnglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci mekkah,yakni: Haji Miskin,Haji Sumanik,dan Haji piabang.Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian pelaksanaan ajaran islam di Minangkabau itu sering di kenal  dengan kaum Padri.Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran islam,kaum padre menentang praktk berbagai adat dan kebiasaan kaum adat yang memang dilarang dalam ajaran islam seperti berjudi,menyabung ayam,minim-minuman keras.Kaum adat   yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum padri.Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak.Timbulah bentrokan antara keduanya.Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai resider di Minangkabau.Pada tanggal 10 Februari 1821,Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh adat,Tuanku Surwaso dan 14 penghulu minangkabau.Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian di duduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 februari  1821, belanda yang telah di beri kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki simawang. Di daerah ini telah di tempat kan dua meriam dan 100 orang serdadu belanda. Tindakan belanda ini di tentang keras oleh kaum padri, maka tahun 1821 itu meletus kan perang padri.Perang padri di Sumatra barat ini dapat di bagi dalam tiga fase.
Fase pertama (1821-1825).Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum padre, maka belanda mengambil strategi damai. Oleh Karena itu, pada tanggal 26 januari 1824 tercapai lah perundingan damai antara belanda dengan kaum padre di wilayah alahan panjang. Perundingan ini di kenal dengan perjanjian masang. Tuan ku imam bonjol juga tidak keberatan dengan ada nya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi belanda justru di manfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah lain. Dengan demikian perlawanan kaum padre masih terus berlangsung di berbagai tempat.Fase kedua(1825-1830)            Kaum padre tidak begitu menghiraukan ajakan damai dari Belanda , karena belanda sudah biasa bersifat licik. Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan arab yang bernama sulaiman aljufri menemui imam ku tuan bonjol agar bersedia berdamai dengan belanda. Tuan ku imam bonjol menolak. Kemudian menemui tuan ku lintau ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga di  dukung tuanku nanrenceng . itulah sebabnya pada tanggal 15 november 1825 di tanda tangani perjanjian padang. Isi perjanjian itu antara lain:1) Belanda mengakui kekuasan pemimpin padre di batu sangkar, saruaso, padang guguk          sigandang, agam, bukit tinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerah nya.
2) kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
3) kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukanperjalanan.
4) secara bertahap belanda akan melarang praktik adu ayam.
Fase ketiga(1830-1837/1838)          Pada pertempuran fase ketiga ini kaum padre mulai mendapatkan simpati pada kaum adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatra barat akan meningkat. Orang-orang padre yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke pos-pos  tentara belanda.kaum padre dari bukit kamang alam dan bukit tinggi. Tindakan kaum padre itu di jadikan belanda di bawah gilafri untuk menyerang koto tuo di ampek angket, serta membangun sebuah benteng pertahanan dari ampang gadang sampai ke biaro.
4.     PERANG DIPONEGORONama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya di istana maka Diponegoro lebih senang tinggal di rumah buyutnya di desa Tegalrejo.                                                                                                   Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut:·        Adat kebiasaan keraton tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan.
·        Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama serta golongan bangsawan. Misalnya          pesta dansa sampai larut malam, minum-minuman keras.
·       Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan sistem hak sewa      tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan        uang sewa yang telah diterimanya.
·       Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah,pajak ternak.
.Selain hal-hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut kemarahan Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta api yang melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah Patih Darunejo IV tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.                   Bagaimana proses perlawanan yang dilakukan Diponegoro? Diponegoro memusatkan pertahannya di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa. Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan. Pengikut Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan Besari dari Kedu. Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun dan Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung oleh Panglima perang berusia muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada tangal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro memenangkan pertempuran di dekat Lengkong dan tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu. Oleh rakyat, pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo”.         Bagaimana siasat Belanda untuk mematahkan perlawanan Diponegoro? Menghadapi perang gerilya yang dilakukan pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik benteng stelsel. Apa tujuan Belanda? Benteng stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan benteng sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit ruang gerak perlawanan Diponegoro . Selain itu Jendral De Kock menetapkan Magelang sebagai pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa pengikut Diponegoro tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828. Tindakan Belanda berikutnya adalah membujuk para pengikut Diponegoro untuk menyerah dan berhasil antara lain terhadap Mangkubumi. Sentot Ali Basa Prawirodirjo menyerah dan menandatangani perjanjian Imogiri bulan Oktober 1829.            Bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Dipdonegoro? Mula-mula Belanda mengumumkan pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil, maka ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16 Februari 1830 di desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya tangal 28 Maret 1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan Diponegoro kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari 1855 dibawa ke Makasar.Dengan tertangkapnya Diponegoro berakhirlah perang Diponegoro. Perang ini cukup merepotkan keuangan Belanda karena menelan biaya perang yang cukup besar.
























6 komentar: