SEJARAH PERANG TONDANO, PATTIMURA ANGKAT SENJATA, PERANG PADRI, DAN PERANG DI PONEGORO
1.PERANG TONDANO Dalam sejarah, perlawanan
orang Minahasa itu lebih terkenal dengan nama "Perang Tondano" yang dipimpin
oleh Sarapung dan Korengkeng, serta Matulandi, Tewu, Lumngkewas, Sepang, Kepel
termasuk Lontoh dari Tombulu dan Mamahit dari Remboken. Di bawah kepemimpinan
tokoh-tokoh tersebut orang Minahasa membangkitkan perlawanan menentang
ketidakadilan kolonial. Sumber sengketa waktu itu muncul ketika Belanda
membutuhkan bantuan tenaga pemuda-pernuda Minahasa untuk dikirim melawan
Inggris yang sudah mengancam pulau Jawa. Orang Minahasa berpendapat bahwa para
pemuda itu lebih dibutuhkan untuk mempertahankan Minahasa dari pada dikirim ke
tempat lain. Belanda memaksa sambil memberikan iming-iming dan hadiah kepada
para pemimpin Minahasa yang mau membantu mereka.Ternyata permintaan tenaga
bantuan pemuda dan iming-iming hadiah ditolak oleh seluruh rakyat Minahasa
dalam pertemuan/musyawarah Minahasa di Tondano. Belanda menuduh tokoh-tokoh
Tondano menggagalkan politik mereka sehingga menyampaikan ancaman akan
menyerang Tondano dengan kekuatan militer. Ancaman tersebut disambut dengan
persiapan perang di pusat perlawanan Tondano. Itulah sebabnya peperangan itu
terkenal dengan sebutan "Perang Tondano".Pasukan militer Belanda yang
lebih kuat persenjataannya beberapa kali datang menyerang namun benteng
pertahanan Tondano ternyata kuat sekali, bahkan Residen Belanda bernama
Prediger dilaporkan tertembak dan meninggal dunia. la diganti oleh Residen
Balfour yang mendatangkan bala bantuan lebih besar dengan persenjataan lebih
lengkap.Awal Agustus 1809 pertahanan utama orang Tondano berhasil dikepung dari
arah daratan maupun dari arah danau. Pusat kekuatan Tondano di tempat yang
kemudian dinamakan Minawanua menjadi ajang pertempuran sengit beberapa hari
lamanya.
Pada siang tanggal 4 Agustus 1809 pertahanan
itu bobol dan pertempuran belangsung dari rumah ke rumah. Dini hari tanggal 5
Agustus 1809 pertahanan dan perkampungan Tondano dibumihanguskan musuh.Semua
penghuninya mulai dari anggota pasukan perlawanan Tondano hingga orang-orang
tua perempuan dan anak-anak tidak ada yang tersisa. Semuanya tewas terbunuh.
Sampai waktu itu, belum pernah ada perlawanan yang seluruh warganya dimusnakan
musuh, seperti halnya yang terjadi dalam Perang Tondano. Sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah dibantu oleh para
ahli sejarah berusaha menulis sejarah Indonesia, namun ternyata patriotisme dan
heroisme yang muncul dalam Perang Tondano tidak pernah menghiasi buku-buku
sejarah nasional. Itulah sebabnya kisah heroik Perang Tondano perlu diangkat
untuk turut memperkuat nasionalisme Indonesia demi meningkatkan dan
melestarikan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Sebagaimana kita ketahui bahwa proses perjuangan bangsa menuju
terciptanya Indonesia merdeka, adalah memakan waktu panjang yang telah diawali
dengan pergerakan perlawanan bersenjata oleh rakyat di hampir seluruh pelosok
tanah air termasuk di Daerah Sulawesi Utara dikenal dengan peristiwa bersejarah
yaitu Epos Perang Tondano di Minahasa yang puncaknya terjadi pada akhir perang
Tondano tahun 1809 di wilayah Minawanua di sebuah lokasi di tepi Danau Tondano
yang diberi nama Benteng Moraya. Karena di tempat itu telah terjadi pertempuran
habis-habisan yang memakan korban sangat banyak sampai tidak ada yang tersisa.Sudah
banyak pahlawanan pejuang kemerdekaan kita dicatat dan diakui sebagai Pahlawan
Nasional, namun masih lebih banyak lagi yang belum diperkenalkan dengan kadar
kepahlawanannya yang tidak kalah bobotnya sebagai pahlawan yang memelopori dan
merintis perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Kisah
perang Tondano yang berakhir pada awal abad ke XIX di saat berkuasanya VOC di
bawah pimpinan Gubernur Jenderal Daindels, telah mengundang perhatian yang
cukup besar karena perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara terhadap
penjajahan Belanda tidaklah tanggung-tanggung.Mereka berperang sampa tetes
darah penghabisan di Benteng Moraya bersama para pemimpinnya terdiri dari
Lonto, Tewu, Matulandl, Mamahit, Korengkeng. Lumingkewas, Sarapung, Sepang, Kepel serta
lain-lainnya yang kisahnya tidak kalah dengan pahlawan nasional seperti
Pattimura, Hasssanudin, Diponegoro dan Imam Bonjol.
Pada tanggal 5 Agustus 1809,
waktu sang surya menampakan cahayanya di ufuk timur, yang disinari bukan lagi
Minawanua di hari kemarin, tetapi tinggal puing-puing berserakan, ditaburi
mayat-mayat, bau amis darah dan tumpukan bara api. Tak ada lagi anak negeri
yang bangun bersama sang surya berjaga-jaga di Benteng Moraya dan Benteng
Paapal. Semuanya telah musnah bersama Wanua tercinta. Inilah akhir dari suatu
perjuangan panjang rakyat Minahasa dalam mempertahankan eksistensi martabat
kebangsaannya. Hanya dengan satu kalimat dinyatakan oleh Dr. E.C. Molsborgen,
yang menggambarkan semangat dan jiwa perjuangan Minawanua: "de dappere
tegenstand tegen een overmacht had de Tondaneers niet gebaar"
"perlawanan orang tondano adalah perlawanan yang paling berani"Ada
lima penulis lokal (Minahasa) yang mengekspresikan rasa kepeduliannya terhadap
kisah heroik sejarah perang Tondano, yang dideskripsikan dalam buku. Mereka
adalah: 1) Giroth Wuntu 1962, 2) Frans Watuseke 1968, 3) Eddy Mambu 1985, 4)
skripsi dari Sam A. H Umboh 1985, 5) Bert Supit 1991. Sebagai tulisan/buku yang
bernilai sejarah perjuangan, dapat dikatakan bahwa secara umum ke-lima penulis
tersebut memiliki pandangan yang sama tentang kisah heroik perjuangan orang
Minahasa melawan Kolonial Belanda. Bagi mereka, Perang Tondano masih tetap
merupakan suatu riwayat peperangan yang gagah berani, paling lama (1661-1809),
dan utama, melebihi dari kaidah-kaidah heroik lainnya yang pernah dialami oleh
orang Minahasa, seperti perang dengan Bolaang Mongondouw, pertempuran dengan
perompak Mangindanouw, atau perang antara Minahasa-Spanyol.Namun demikian,
suatu hal yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat Minahasa atas kisah heroik
Perang Tondano tersebut, adalah berkenaan dengan isu sejarah nasional dimana
jasa para pahlawan Perang Tondano sebagai kusuma bangsa belum dilegitimasi
dalam arsip nasional sebagaimana yang diberlakukan kepada Pangeran Diponegoro
dan Imam Bonjol.Dengan kata lain, belum diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Padahal, sejarah mencatat bahwa dalam mempertahankan harkat dan martabat
sebagai Tou-Minahasa maupun sebagai anak bangsa dalam melawan perlakuan
kesewenang-wenangan kompeni Belanda bukanlah suatu kenyataan sejarah yang
'biasa-biasa saja'. Akan tetapi, sebuah Epos (kisah heroik) Perang Tondano,
yang mesti diterahkan dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. untuk
menaklukan tondano, tidak tanggung2,belanda menarik pasukan dari daerah2 lain
seperti jawa, ambon, ternate dan bugis hanya untuk menaklukan benteng alam
tondano.dalam sebuah peperangan tidak bisa di pungkiri akan adanya
intrik2/siasat2 licik, begitu juga dalam pertempuran ini,setelah hampir setahun
benteng moraya di kepung,bahan makanan dan logistik pun habis,dan tinggal
mengandalkan tanaman2 yg ada di sekitar benteng untuk makanan,Tanggal 2 Juni
1809, Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala walak Minahasa lainnya.
karena awal mula konflik adalah dengan walak(klan) tondano,walak2 lain nya di
ijinkan tuntuk pulang, Dan yang tertinggal selain walak Tondano adalah dari Tomohon
dan Kalabat.unggul jumlah pasukan dan senjata membuat serangan belanda tidak
dapat di bendung, akhirnya benteng yang hanya di buat dari bambu,parit,di
tambah hantu2 palsu yang ter buat dari pohon sagu dan di munculkan di saat
malam pun berakhir di taklukan belanda setelah selama 11 bulan 4 hari
peperangan.12. PATTIMURA
ANGKAT SENJATA
Pattimura (1817) Belanda
melakukan monopoli perdagangan dan memaksa rakyat Maluku menjual hasil
rempah-rempah hanya kepada Belanda, menentukan harga rempah-rempah secara
semena-mena, melakukan pelayaran hongi, dan menebangi tanaman rempahrempah
milik rakyat. Rakyat Maluku berontak atas perlakuan Belanda. Dipimpin oleh
Thomas Matulessi yang nantinya terkenal dengan nama Kapten Pattimura, rakyat
Maluku melakukan pada tahun 1817. Pattimura seorang pejuang wanita Christina
Martha Tiahahu. Perang melawan Belanda meluas ke berbagai daerah di Maluku,
dibantu oleh Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha, Paulus Tiahahu, dan
seperti Ambon, Seram, Hitu, dan lain-lain. Belanda mengirim pasukan
besarbesaran. Pasukan Pattimura terdesak dan bertahan di dalam benteng.
Akhirnya, Pattimura dan kawan-kawannya tertawan. Pada tanggal 16 Desember
1817,Pattimura dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.Setelah itu
Pattimura melanjutkan peperangan di saparua Perlawanan pasukan Pattimura
pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817. Sebab
musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan
Pattimura untuk melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah
minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama)
untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam
suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan
ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan
hidup atau mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya
mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti
rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi. Organisasi
pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan
menyalurkan aspirasi rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb.
1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu-satunya wadah yang dapat
dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi
adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah
satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan
Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut Latukewano
atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana
Kewano atau anak Kewang. Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan
secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling
menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering mengadakan rapat
di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang
berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah
Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai.
Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk
berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat
untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak mau meninggalkan tanah
tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan
komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di
Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura
di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela.
Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan
Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di
pulau Saparua. Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak
Pollatu, kemudian di Marsma apulette. Mereka membahas surat dari serdadu di
Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat
yang ditujukan untuk raja Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia
perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah
pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun
mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829
yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka
ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di
daerah ini berakhir di sini.
3. PERANG PADRIPerang padri terjadi di tanah minabgkabau,sumatera Barat pada
tahun 1821-1837.Perang ini di gerakkan oleh para pembaru islam yang sedang
konflik dengan kaum adat.Perang padre
sebenarnya merupakan perlawanan kaum padri terhadap dominasi pemerintahan
Hindia Belanda di Sumatera Barat.Perang ini bermula adanya pertentangan antara
kaum padre dengan kaum adat.Adanya pertentangan padre dengan kaum adat telah
menjadi pintu masuk bagi campur tangan belanda. Perlu di pahami sekalipun
masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama islam,tetapi sebagian masyarakat
masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai ajaran
Islam.Sejak akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampong
kota tua di daratan agam.Karena berasal dari kampong kota tua,maka ulama itu terkenal
dengan nama Tuanku kota Tua.Tuanku kota tua ini mulai mengajarkan
pembaruan-pembaruan dan praktik aganma islam.DEngan melihat realitas kebiasaan
masyarakat,Tuanku kota tua menyatakan bahwa masyarakat minangkabau sudah begitu
jauh menyimpang dari ajaran islam.Ia menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat
itu hidup sesuai dengan al-qur’an dan sunah nabi.Kemudian pada tahun 1803
datnglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci
mekkah,yakni: Haji Miskin,Haji Sumanik,dan Haji piabang.Orang-orang yang
melakukan gerakan pemurnian pelaksanaan ajaran islam di Minangkabau itu sering
di kenal dengan kaum Padri.Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran islam,kaum padre
menentang praktk berbagai adat dan kebiasaan kaum adat yang memang dilarang
dalam ajaran islam seperti berjudi,menyabung ayam,minim-minuman keras.Kaum
adat yang mendapat dukungan dari
beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum padri.Terjadilah
pertentangan antara kedua belah pihak.Timbulah bentrokan antara keduanya.Tahun 1821
pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai resider di
Minangkabau.Pada tanggal 10 Februari 1821,Du Puy mengadakan perjanjian
persahabatan dengan tokoh adat,Tuanku Surwaso dan 14 penghulu
minangkabau.Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian di duduki
oleh Belanda. Pada tanggal
18 februari 1821, belanda yang telah di
beri kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki simawang. Di daerah ini telah
di tempat kan dua meriam dan 100 orang serdadu belanda. Tindakan belanda ini di
tentang keras oleh kaum padri, maka tahun 1821 itu meletus kan perang
padri.Perang padri di Sumatra barat ini dapat di bagi dalam tiga fase.
Fase pertama
(1821-1825).Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum padre, maka belanda
mengambil strategi damai. Oleh Karena itu, pada tanggal 26 januari 1824
tercapai lah perundingan damai antara belanda dengan kaum padre di wilayah
alahan panjang. Perundingan ini di kenal dengan perjanjian masang. Tuan ku imam
bonjol juga tidak keberatan dengan ada nya perjanjian damai tersebut. Akan
tetapi belanda justru di manfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah
lain. Dengan demikian perlawanan kaum padre masih terus berlangsung di berbagai
tempat.Fase
kedua(1825-1830) Kaum padre tidak begitu menghiraukan
ajakan damai dari Belanda , karena belanda sudah biasa bersifat licik. Belanda
kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan arab yang bernama
sulaiman aljufri menemui imam ku tuan bonjol agar bersedia berdamai dengan
belanda. Tuan ku imam bonjol menolak. Kemudian menemui tuan ku lintau ternyata
merespon ajakan damai itu. Hal ini juga di
dukung tuanku nanrenceng . itulah sebabnya pada tanggal 15 november 1825
di tanda tangani perjanjian padang. Isi perjanjian itu antara lain:1) Belanda mengakui kekuasan
pemimpin padre di batu sangkar, saruaso, padang guguk sigandang, agam, bukit tinggi dan
menjamin pelaksanaan sistem agama di daerah nya.
2) kedua belah pihak tidak akan
saling menyerang
3) kedua pihak akan melindungi para
pedagang dan orang-orang yang sedang melakukanperjalanan.
4) secara bertahap belanda akan
melarang praktik adu ayam.
Fase
ketiga(1830-1837/1838) Pada
pertempuran fase ketiga ini kaum padre mulai mendapatkan simpati pada kaum
adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatra barat akan meningkat.
Orang-orang padre yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke
pos-pos tentara belanda.kaum padre dari
bukit kamang alam dan bukit tinggi. Tindakan kaum padre itu di jadikan belanda
di bawah gilafri untuk menyerang koto tuo di ampek angket, serta membangun
sebuah benteng pertahanan dari ampang gadang sampai ke biaro.
4. PERANG DIPONEGORONama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra
Sultan Hamengku Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya
di istana maka Diponegoro lebih senang tinggal di rumah buyutnya di desa
Tegalrejo. Secara
umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai
berikut:·
Adat kebiasaan keraton tidak dihiraukan para
pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan.
·
Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan
para ulama serta golongan bangsawan. Misalnya pesta dansa sampai larut malam,
minum-minuman keras.
· Para bangsawan merasa dirugikan karena pada
tahun 1823 Belanda menghentikan sistem hak sewa tanah para bangsawan oleh
pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan uang sewa yang
telah diterimanya.
· Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat
misalnya pajak tanah, pajak rumah,pajak ternak.
.Selain
hal-hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut kemarahan
Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta api yang
melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah Patih Darunejo IV
tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro
melawan Belanda. Bagaimana
proses perlawanan yang dilakukan Diponegoro? Diponegoro memusatkan pertahannya
di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa.
Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan.
Pengikut Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan Besari
dari Kedu. Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang,
Rembang, Madiun dan Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung
oleh Panglima perang berusia muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada
tangal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro memenangkan pertempuran di dekat
Lengkong dan tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu. Oleh rakyat, pangeran
Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdulhamid Cokro
Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo”. Bagaimana siasat Belanda untuk
mematahkan perlawanan Diponegoro? Menghadapi perang gerilya yang dilakukan
pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik benteng stelsel. Apa tujuan
Belanda? Benteng stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan
benteng sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit
ruang gerak perlawanan Diponegoro . Selain itu Jendral De Kock menetapkan
Magelang sebagai pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa
pengikut Diponegoro tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda
tanggal 31 Oktober 1828. Tindakan Belanda berikutnya adalah membujuk para
pengikut Diponegoro untuk menyerah dan berhasil antara lain terhadap
Mangkubumi. Sentot Ali Basa Prawirodirjo menyerah dan menandatangani perjanjian
Imogiri bulan Oktober 1829. Bagaimana
upaya Belanda untuk menundukkan Dipdonegoro? Mula-mula Belanda mengumumkan
pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat
menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil,
maka ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16
Februari 1830 di desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya
tangal 28 Maret 1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan Diponegoro
kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari 1855
dibawa ke Makasar.Dengan tertangkapnya Diponegoro berakhirlah perang
Diponegoro. Perang ini cukup merepotkan keuangan Belanda karena menelan biaya
perang yang cukup besar.
makasih
BalasHapusPas banget niiiih untuk presentasi saya
(y)
Sama sama. Btw maaf baru dibales 🙏
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusdanke für die Wissens
BalasHapuspas bgt sama tugas.. thx kaak...
BalasHapusOke. Btw maaf yah, baru dibales 🙏
Hapus